Indonesia memiliki banyak pengusaha top dan terkenal,
diantara mereka masih berusia muda namun memiliki materi yang luar biasa atau
dapat dikatakan sudah sukses secara finansial. Salah satunya adalah seorang
pengusaha muda Sandiaga Salahuddin Uno. Beliau adalah mantan ketua HIPMI
(Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) sebuah organisasi yang berisi lebih dari
30.000 pengusaha muda di Indonesia, dan kini menjadi ketua KADIN (Kamar Dagang
Indonesia).
Perjalanan bisnisnya memang begitu panjang dan berliku, Sandiaga Uno bukanlah
orang yang sudah biasa berkecimpung di dunia bisnis sejak kecil atau punya
keturunan pengusaha ataupun punya modal besar dari orang tuanya. Dia hanyalah
orang biasa, bahkan orang tuanya pun lebih memilih bekerja di perusahaan
ketimbang jadi pengusaha.
Namun karena punya jiwa bisnis yang tinggi, dia berhasil melihat dan menyulap
peluang-peluang usaha dan menjadikan ladang uang yang hingga kini terus
dipanennya. Namun sekali lagi, semua itu tidak didapat dengan cara instan,
berikut ini kisah sukses yang dijalani oleh Sandiaga Salahuddin Uno yang saya
kutip dari website ciputraentrepreneurship.com, silahkan disimak.
Di Indonesia, relatif amat susah mencari orang sukses dalam usia yang relatif
muda, setidaknya dalam usia di bawah 40 tahun. Namun demikian, diantara
susahnya menemukan orang sukses tersebut, muncul milyarder muda, Sandiaga
Salahuddin Uno.
Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Hipmi (Himpunan Pengusaha Muda
Indonesia) pasti kenal dengan sosok Sandiaga S. Uno. Dia telah lengser dari
jabatan ketua umum pusat organisasi yang beranggota lebih dari 30 ribu
pengusaha itu.
Sandi–demikian penyandang gelar MBA dari The George Washington University itu
biasa disapa–tercatat sebagai orang terkaya ke-63 di Indonesia versi Globe
Asia. Kekayaannya 245 juta dolar AS.
Sandi menyatakan tak disiapkan untuk menjadi pebisnis oleh orangtuanya.
”Orangtua lebih suka saya bekerja di perusahaan, tidak terjun langsung menjadi
wirausaha,” ujar pria penggemar basket itu.
”Menjadi pengusaha itu pilihan terakhir,” akunya. Karena itulah, dia tak
berpikir menjadi pengusaha seperti yang telah dilakoni selama satu dekade ini.
”Saya ini pengusaha kecelakaan,” katanya, lantas tertawa.
Kiprah bisnis Sandi kini dibentangkan lewat Grup Saratoga dan Recapital.
Bisnisnya menggurita, mulai pertambangan, infrastruktur, perkebunan, hingga
asuransi. Namun, dia masih punya cita-cita soal pengembangan bisnisnya. “Saya
ingin masuk ke sektor consumer goods. Dalam 5-10 tahun mendatang, bisnis di
sektor tersebut sangat prospektif,” katanya, optimistis.
Seorang pebisnis, kata dia, memang harus selalu berpikir jangka panjang.
Bahkan, berpikir di luar koridor, berpikir apa yang tidak pernah terlintas di
benak orang. “Mikir-nya memang harus jangka panjang.”
Dia mencontohkan, dirinya masuk ke sektor pertambangan awal 2000. Saat itu,
sektor tersebut belum marak seperti saat ini. ”Jadi, ketika sektor itu
sekarang naik, kami sudah punya duluan,”ujarnya.
Sandi semula adalah pekerja kantoran. Pascalulus kuliah di The Wichita State
University, Kansas, Amerika Serikat, pada 1990, Sandi mendapat kepercayaan dari
perintis Grup Astra William Soeryadjaja untuk bergabung ke Bank Summa. Itulah
awal Sandi terus bekerja sama dengan keluarga taipan tersebut. ”Guru saya
adalah Om William (William Soeryadjaja-Red),” tutur pria kelahiran 28 Juni 1969
itu.
Bapak dua anak itu kemudian sedikit terdiam. Pandangannya dilayangkan ke luar
ruang, memandangi gedung-gedung menjulang di kawasan Mega Kuningan. ”Saya masih
ingat, sering didudukkan sama beliau (William Soeryadjaja-Red). Kami berdiskusi
lama, bisa berjam-jam. Jiwa wirausahanya sangat tangguh,” kenangnya. William
tanpa pelit membagikan ilmu bisnisnya kepada Sandi. Dia benar-benar
mengingatnya karena itulah titik awal dia mengetahui kerasnya dunia bisnis.
Di Tanah Air, Sandi hanya bertahan satu setengah warsa. Dia harus kembali ke AS
karena mendapat beasiswa dari bank tempatnya bekerja. Dia pun kembali duduk di
bangku kuliah di George Washington University, Washington. Saat itulah,
fase-fase sulit harus dia hadapi. Bank Summa ditutup. Sandi yang merasa
berutang budi ikut membantu penyelesaian masalah di Bank Summa.
Sandi kemudian sempat bekerja di sebuah perusahaan migas di Kanada. Dia juga
bekerja di perusahaan investasi di Singapura. ”Saya memang ingin fokus di
bidang yang saya tekuni semasa kuliah, yaitu pengelolaan investasi,” tuturnya.
Mapan sejenak, Sandi kembali terempas. Perusahaan tempat dia bekerja tutup. Mau
tidak mau, dia kembali ke Indonesia. ”Saya berangkat dari nol. Bahkan, kembali
dari luar negeri, saya masih numpang orangtua,” katanya. Sandi mengakui,
dirinya semula kaget dengan perubahan kehidupannya. ”Biasanya saya dapat gaji
setiap bulan, tapi sekarang berpikir bagaimana bisa bertahan,” tutur pria
kelahiran Rumbai itu. Apalagi, ketika itu krisis.
Dia kemudian menggandeng rekan sekolah semasa SMA, Rosan Roeslani, mendirikan
PT Recapital Advisors. Pertautan akrabnya dengan keluarga Soeryadjaja membawa
Sandi mendirikan perusahaan investasi PT Saratoga Investama Sedaya bersama anak
William, Edwin Soeryadjaja. Saratoga punya saham besar di PT Adaro Energy Tbk,
perusahaan batu bara terbesar kedua di Indonesia yang punya cadangan 928 juta
ton batu bara.
Bisa dibilang, krisis membawa berkah bagi Sandi. ”Saya selalu yakin, setiap
masalah pasti ada solusinya,” katanya. Sandi mampu ”memanfaatkan” momentum
krisis untuk mengepakkan sayap bisnis. Saat itu banyak perusahaan papan atas
yang tersuruk tak berdaya. Nilai aset-aset mereka pun runtuh. Perusahaan
investasi yang didirikan Sandi dan kolega-koleganya segera menyusun rencana.
Mereka meyakinkan investor-investor mancanegara agar mau menyuntikkan dana ke
tanah air. ”Itu yang paling sulit, bagaimana meyakinkan bahwa Indonesia masih
punya prospek.”
Mereka membeli perusahaan-perusahaan yang sudah di ujung tanduk itu dan berada
dalam perawatan BPPN -lantas berganti PPA-. Kemudian, mereka menjual perusahaan
itu kembali ketika sudah stabil dan menghasilkan keuntungan. Dari bisnis
itulah, nama Sandi mencuat dan pundi-pundi rupiah dikantonginya.
Sandi terlibat dalam banyak pembelian maupun refinancing perusahaan-perusahaan.
Misalnya, mengakuisisi Adaro, BTPN, hingga Hotel Grand Kemang. Dari situlah,
kepakan sayap bisnis Sandi melebar hingga kini.